Tahun ini Tujuhbelasan yang pertama buat Rinjani. Dia udah punya kesadaran dan pengetahuan tentang perayaan Hari Kemerdekaan dan ada banyak hal yang seru yang dia bisa ikuti.
Kebetulan di lingkungan rumah dan di sekolah (Taman Kanak-Kanak)nya sejumlah lomba dan kompetisi diadakan. Bersama teman-teman sebayanya ia sudah niat untuk mendaftar dan berlomba supaya dapat piala. 😊
Sabtu pagi, 17 Agustus, aku antar dia bersama teman-temannya ke pekarangan masjid, tempat pemuda Karang Taruna membuka pendaftaran lomba. Bocah-bocah ini terlalu bersemangat, bahkan ketika dibilang lomba baru mulai jam seupuluh, mereka tak mau pulang dulu. Apalagi kakak-kakak membagikan coklat dan permen setelah mereka daftar. Aku awasi saja mereka berkeliaran dan saling menyapa dengan sebayanya sambil menunggu waktu lomba tiba.
Pukul sepuluh, kami menuju tempat lomba. Rinjani dapat giliran pertama, mengingat begitu banyak pendaftar dan lomba akan dilakukan dalam beberapa batch. Senangnya jadi bocah lugu, ngga banyak pikiran, ngga ada target. Yang penting bersenang-senang. Demikian juga dengan Rinjani. Dia hanya tau akan makan kerupuk dan menang. Ngga terlalu peduli kalau “menang” itu artinya harus habis paling awal. Biarlah… Akupun ngga berusaha bikin dia mikir. Aku hanya ingin dia bersenang-senang bersama teman-temannya. “Juara ya…”, kataku.
And so the race is going… Ramai dikelilingi oleh kumpulan bocah dengan para ibu yang ambisius menyemangati anak-anaknya melahap kerupuk, aku malah menjauh agak di seberang arena. Dari sana kuacungi Rinjani dua jempol penyemangat. Ketika panitia menghentikan waktu lomba, belum semua kerupuk habis, tetapi mereka sudah bisa tentukan juaranya. Lalu anak-anak ini bisa menghabiskan sisa kerupuknya.
Rinjani sebenarnya ngga menang. Tetapi dia terlihat happy menghabiskan bagiannya. “Yeay, aku juara, ibu…”, serunya lalu menghambur ke pelukanku. Tidak memperhatikan pengumuman dari Kakak Panitia dan tidak paham kalau juara batch akan diadu lagi. Puas dengan prestasinya, dia malah ajak aku menonton lomba-lomba yang dilakukan kakak-kakak yang lebih besar. Ada balap karung, estafet spon basah, dan lain-lainnya. Well, she’s having fun. And that’s enough. Bahkan dia lupa untuk dapetin piala yang dia sebut-sebut di awal hari.
…
Esok harinya, di hari sekolah, ada lomba-lomba 17-an juga yang diadakan. Aku titipi Si Mbak untuk mengawasinya di sekolah. Kali ini, Rinjani ikut lomba balap kelereng, katanya. Siang hari aku baru meng-update kabar ke Mbak.
“Ngga juara, teh. Kelerengnya jatuh melulu…”, lapor Si Mbak. Katanya pula dia hampir nangis, tapi kemudian dihibur sama bundanya di kelas.
Deg! Something shocks me…
Tahun ini adalah pertama kali Rinjani ikut dan mengerti 17-an adalah keriaan. Bertentangan dengan cita-citaku untuk membuatnya selalu berbahagia, seharusnya aku mengenalkan juga padanya bahwa ada yang namanya kompetisi. Bahwa hal-hal itu perlu diperjuangkan. Bahwa kita tidak bisa selalu menang dan senang, tetapi kita harus selalu pandai menanggapinya.
Maybe, I’d been a bad mom dengan selalu menghendakinya merasa tenang dan aman-aman saja yang justru bisa membahayakan dirinya karena menjadi tidak waspada. And I have to correct that… Mungkin dia juga ngga terlalu ambil peduli karena sehari kemudian tak ada lagi obrol-obrolan tentang perlombaan 17-an. Tetapi ini tetap menjadi PR buatku, untuk menyiapkan Rinjani menjalani hari-harinya kelak. Bahwa hal-hal yang berlalu adalah bahan permenungan dan pelajaran hidup, bukan untuk dianggap angin lalu dan dilupakan begitu saja.
Ok my baby girl… Kita akan mulai belajar tentang hidup ya. Ngga cuma kamu, tapi Ibu juga ikut belajar berani melepasmu ke Dunia.
