Salah satu kesyukuranku adalah telah membuat keputusan yang tepat sewaktu dulu memilih dan memutuskan lokasi rumah. Properti perdana keluarga kami. Letaknya di sebuah desa di kabupaten Bogor tetapi berdekatan dengan perbatasan kotamadya. Jadi akses ke fasilitas kota tetap terjangkau, macam pasar swalayan, rumah sakit, dan sekolah-sekolah. Juga dekat ke gerbang jalan bebas hambatan lintas Jagorawi. Tapi, jalur transportasi andalan kami adalah kereta #commuterline. Letak rumah kami dekat sekali ke #stasiuncilebut. .

Namanya jalanan desa dengan pintu gerbang ke Kota, ngga heran, seiring waktu, bertumbuh ramai dan bahkan bisa macet. Kemacetan khas persimpangan dengan pasar, stasiun, dan terminal angkot. Tapi alhamdulillah, saat ini macetnya ngga pernah sampai ke pintu masuk komplek. Jadi, ngga sampai bikin tambahan ruwet dan BT perjalanan harian kami #blessed . .

Alhamdulillah, masih dekat setiap hari bisa memandang tujuh puncak Gunung Salak melatari langit Selatan. Alhamdulillah, air dan udara selalu bersih. Alhamdulillah, suhu udara selalu sejuk. Alhamdulillah, semua tercukupi. .

Apa kesyukuranmu pagi ini? Ceritain di kolom komentar ya… .

[Lintas Kamis] Hari Kerja Mulai Kembali

[Lintas Kamis] Hari Kerja Mulai Kembali

Ini adalah permulaan hari kerja yang sesungguhnya … setelah cuti Idul Fitri yang maju mundur nambah hari, liburan mudik yang lalu jadi panjang, … kemudian baru 2 hari masuk ternyata ada ‘hadiah’ libur hari Pemilu 2018….

Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, setiap hari awal setelah libur Lebaran, adalah hari yang chaotic. Setiap habis mudik, komuter ke Jakarta mengalami peningkatan dari jumlah tetap biasanya. Mungkin yang pada dari daerah kemudian hijrah untuk mengadu untung ke ibukota negara. Bersama para penghuni kost urban kembali ke pusat dekat kantor-kantornya.

Akoh… mengalami hari berangkat kerja yang cukup membuat latihan agar masuk seleksi Ninja Warrior. Bahkan strategi naik kereta balik sudah tidak menjanjikan kenyamanan seperti biasanya. Tetap aja yaaa…. penuhnya naudzubillah.

Anyway, I’m survive… Ngga pernah tahu kalau ternyata mampu ngadepin dan ngejalanin tantangan sedemikian.

Push your limit.

 

Survival Tips @ krl

Survival Tips @ krl

Langsung aja. Berikut ini cara bertahan di Commuter Line, terutama di rush hours. Selain tips juga mengandung panduan Tata Krama.
Why? ‘Coz I’m sick of sesama penumpang yang too-selfish dan abai. Bukan karena apa-apa. Egois menurutku perlu sejauh “apa lo nempel-nempel di gue. Kenalan bukan, sodara bukan?!” – kita perlu mengamankan private teritory. Tapi kalau keadaan sudah tidak memungkinkan dan harus nempel, ya mbok tau-tau diri dikit. Kan sama-sama terdholimi…

1. Pertama bangettt… Jangan maksa naik ke gerbong yang sudah penuh. Pliiiissss…

2. Setiba di dalam gerbong, langsung!, cari tempat yang memungkinkan untuk berpegangan atau menempel ke badan gerbong (bukan badan orang lain). Kalau merasa perlu sekali berpegangan, mintalah baik-baik berbagi dengan penggelantung yang lain. Itu hak kita. Terutama nih kalau ketemu sama yang asik main game di gawai yang merasa ngga perlu pegangan.

3. Walaupun sudah berpegangan, stay steady tetapi fleksibel terhadap momentum. Jangan glendotan. Tangan kiri-kanan, kaki kiri-kanan bisa jadi tumpuan bobot bergantian. Maksudnya kalau sampai harus doyong jangan sampai parah, kasihan penumpang lain yang kerobohan kamu. Itu juga yang menurutku mereka yang ngga-pegangan harus banyak-banyak sungkan dan terima kasih sama yang pegangan. Bukannya malah cuek malah main game (hellooow!). Gerbong ini isinya pejuang (kehidupan) semua. Yang ngga mau berjuang tempatnya di luar sana. Jadi, marilah sama-sama. Tepa selira.

4. Kalau terpaksa banget ngga bisa pegangan, tas bawaanmu bisa jadi bandul untuk berdiri dengan steady lho, sama mantap dengan yang bisa meraih pegangan. Caranya pegang di bawah depan dengan kedua tangan dan berdiri dengan posisi kedua kaki berjarak.

5. Gunakan powerful words dengan baik dan tulus. Apa itu? “Maaf”, “permisi/tolong”, dan “Terima kasih”. … Apa mau dikata, bertahan di krl memerlukan ketahanan fisik tertentu. Berlatih, maka kau akan mencapai kesempurnaan. Kamu adalah pahlawan.

Nah, kalau ketemu sama yang kurang berdaya, berikan prioritasnya. Ditolongin, jangan dinyinyirin.

@30haribercerita

#30hbc1825
#30haribercerita
#tips #bertahandikrl #krl #krlq
#survival #survivalofthefittest
#30hbc18slr
#possiblehero

Seleb Pangkalan

Seleb Pangkalan

 

ojek

gambar dari sini

Kalau selebritas diartikan sebagai yang-kehadirannya-dinanti-nantikan, boleh juga kiranya gue ini mengaku-aku sebagai salah satunya. Bedanya, gue ngga nongol di media massa. Gue nongolnya di pintu keluar stasiun. Lebih tepatnya stasiun Tebet. Dan masyarakat yang menantikan dan menyambut gue dengan gegap gempita adalah barisan para tukang ojek. hehehheee…

Buat mereka sudah ngga asing lagi… jam kemunculan gue 5 hari dalam seminggu, setelan gue dengan jaket buluk dan sepatu karet, udah kaya menu tetap. Sebenernya ngga cuma gue pastinya yang rutin nongol di situ. Cuma belakangan gue suka nandain reaksi mereka kalau gue nongol. Harusnya sih ngga usah begitu-begitu banget. Tapi ya begitu deh adanya.

Gue juga udah kaya punya ojek langganan di situ. Yes, si Bapak Jaket Bunglon yang pernah gue cerita sebelumnya, dan mereka sudah tau itu juga. Tapi tetep aja terjadi kehebohan kalau gue tiba. Kalau kebeneran si Pak Bunglon, yang belakangan gue tau namanya Pak Ohir, ngga ada di tempat … mereka akan rebutan “Bu, bu… Pak Ohir ga ada, sama saya aja. WTC kan?”

o iya… gue naik ojek yang mangkal di pangkalan ya. Bukan ojek online. Selain karena ngga punya aplikasinya. Gue kaya udah punya kesepakatan harga dengan ojek langganan dan dia menyervis sesuai ekspektasi; ngga ugal-ugalan, tau rute singkat favorite gue (kalau sewaktu-waktu diperlukan) dan ngga kepo soal hidup gue.

Sama mungkin dengan seleb-seleb dalam dunia hiburan, situasi-situasi seperti itu menyulitkan buat si seleb. Ya, di saat kita ngga bisa memenuhi ekspektasi semua orang karena tangan kami hanya dua, itu bikin kita ngga enak hati…. #apasik?

Apalagi definisi selebritas? Sering muncul di berita gosip? Itu terjadi juga pada gue di kalangan ojekers pangkalan Stasiun. Dari obrol-obrol di perjalanan, gue jadi tau kalau mereka ini berspekulasi tentang gue. Kata mereka, suami gue anggota ‘Angkatan’. hahahhaa… hoax banget.

Tapi ya udahlah… gue ngga memandang perlu untuk klarifikasi di mimbar press conference. Gue juga ngga merasa perlu mereka tahu serba-serbi hidup gue. Tapi gue juga ngga merasa perlu repot untuk menandas “no comment” – kalau mereka nanya-nanya. Kalau di dunia seleb, gue bukan jenis Desy Ratnasari lah. Gue ini tipe Dian Sastro… yang life goes on aja, terserah lo bilang apa.

 

#ngga terlalu penting. silakan lewatkan saja tulisan ini.

[lintas-Kamis] People, I Miss You…

[lintas-Kamis] People, I Miss You…

Udah sering gue cerita kan ya… tentang dunia commuter krl Boo-Jkt…? Juga tentang bagaimana manusia bersosialisasi belakangan ini…? Tentang demam socmed yang melanda kehidupan kita dewasa ini…

Setiap hari perjalanan dengan krl adalah sebuah keadaan yang memperlihatkan kepada gue tentang betapa memuakkan dan menyesakkannya kenyataan interrelasi kita sebagai makhluk sosial. Bahwa orang semakin tidak pedulian kepada orang lainnya; bahwa kita telah melupakan ramah-tamah kepada orang lain; bahkan rasanya kita mengalami kemerosotan kemampuan untuk berpikir dan bertutur kata baik kepada orang lain. Kita semakin individualis dan kehilangan respek kepada sesama.Itu menular. Gue pun jadi terikut tak acuh, dalam arti, gue ogah memulai percakapan dengan orang lain sementara orang-orang lain ini sudah pasang tampang “don’t disturb, it’s my life”. Tetapi gue tetap konsisten untuk mawas lingkungan, bersiap bereaksi cepat jika diperlukan. Makanya gue masih tetap tidak memanfaatkan earphones sebagai perlengkapan standar gue.

Namun pada suatu sore, di stasiun Tebet, di tengah penantian datangnya rangkaian krl dengan gerbong yang leluasa (yang tak kunjung tiba), merapatlah seorang ibu dengan stelan rapi (bagus sih tidak, tetapi beliau terlihat rapi dan resik). Kalimat pertamanya adalah “ngga ada kereta balik (Manggarai, maksud beliau) ya mba?” – yang disampaikannya dengan respek, karib, bukan sok-sok kenal atau dengan kekesalan terpendam terhadap pelayanan transprotasi yang menyedihkan itu… Maka dimulailah perbincangan kami. Gue sungguh menikmati momen itu. Sesuatu yang langka dan patut dijadikan saat untuk memperkaya diri. Memperkaya empati, maksud gue.

Sambil tetap siaga menyambut kereta yang ramah penumpang (dengan ruang yang cukup leluasa), obrol-obrol kami berkembang dari per-krl-an sampai kegiatan harian. Rupanya ibu ini seorang perawat pendamping praktik dokter. Pantas dia resik begitu. Sebenarnya dia tengah dalam masa cuti, tetapi tidak bisa tinggal diam, kemudian mengambil beberapa order kerja part-time. Kehidupan di jalan begini pastinya sudah lama dilakukannya. Gue takjub, dalam usia sedemikian baya, dia masih tetap konsisten dan penuh sikap abdi dalam menjalankannya. Gue ngga terpikir dia beralasan tekanan ekonomi karena dia tampak profesional dan sepenuh hati. Hebat. Bahkan gue ngga pengen berlama-lama melakukan apa yang tengah gue jalani hari-hari ini – tetapi gue belum memikirkan juga mau bagaimana. Just flowing…

Pembicaraan kami kemudian diperkaya dengan kemunculan seorang ibu sederhana yang muncul dengan pertanyaan sama tentang apakah ada kereta yang lega untuk semua. Tidak berlangsung lama tetapi terasa layak dan santun.

Gue tersadar betapa gue rindu hal-hal seperti ini… manusiawi dan menandakan kebutuhan kontak sosial kita yang perlu dipenuhi. Yang bukan hanya dilakukan melalui gadget.

Akhirnya kami terpencar… Si Ibu Perawat mengajakku menaiki krl yang terlihat cukup lapang. Tetapi gue biarkan beliau naik dan kemudian didesak calon penumpang lain. Gue memilih untuk tetap tinggal dan menunggu kereta berikutnya. “Silakan Bu”, kata gue. “Hati-hati dan sampai jumpa…”

… walaupun entah kapan.