Udah sering gue cerita kan ya… tentang dunia commuter krl Boo-Jkt…? Juga tentang bagaimana manusia bersosialisasi belakangan ini…? Tentang demam socmed yang melanda kehidupan kita dewasa ini…
Setiap hari perjalanan dengan krl adalah sebuah keadaan yang memperlihatkan kepada gue tentang betapa memuakkan dan menyesakkannya kenyataan interrelasi kita sebagai makhluk sosial. Bahwa orang semakin tidak pedulian kepada orang lainnya; bahwa kita telah melupakan ramah-tamah kepada orang lain; bahkan rasanya kita mengalami kemerosotan kemampuan untuk berpikir dan bertutur kata baik kepada orang lain. Kita semakin individualis dan kehilangan respek kepada sesama.Itu menular. Gue pun jadi terikut tak acuh, dalam arti, gue ogah memulai percakapan dengan orang lain sementara orang-orang lain ini sudah pasang tampang “don’t disturb, it’s my life”. Tetapi gue tetap konsisten untuk mawas lingkungan, bersiap bereaksi cepat jika diperlukan. Makanya gue masih tetap tidak memanfaatkan earphones sebagai perlengkapan standar gue.
Namun pada suatu sore, di stasiun Tebet, di tengah penantian datangnya rangkaian krl dengan gerbong yang leluasa (yang tak kunjung tiba), merapatlah seorang ibu dengan stelan rapi (bagus sih tidak, tetapi beliau terlihat rapi dan resik). Kalimat pertamanya adalah “ngga ada kereta balik (Manggarai, maksud beliau) ya mba?” – yang disampaikannya dengan respek, karib, bukan sok-sok kenal atau dengan kekesalan terpendam terhadap pelayanan transprotasi yang menyedihkan itu… Maka dimulailah perbincangan kami. Gue sungguh menikmati momen itu. Sesuatu yang langka dan patut dijadikan saat untuk memperkaya diri. Memperkaya empati, maksud gue.
Sambil tetap siaga menyambut kereta yang ramah penumpang (dengan ruang yang cukup leluasa), obrol-obrol kami berkembang dari per-krl-an sampai kegiatan harian. Rupanya ibu ini seorang perawat pendamping praktik dokter. Pantas dia resik begitu. Sebenarnya dia tengah dalam masa cuti, tetapi tidak bisa tinggal diam, kemudian mengambil beberapa order kerja part-time. Kehidupan di jalan begini pastinya sudah lama dilakukannya. Gue takjub, dalam usia sedemikian baya, dia masih tetap konsisten dan penuh sikap abdi dalam menjalankannya. Gue ngga terpikir dia beralasan tekanan ekonomi karena dia tampak profesional dan sepenuh hati. Hebat. Bahkan gue ngga pengen berlama-lama melakukan apa yang tengah gue jalani hari-hari ini – tetapi gue belum memikirkan juga mau bagaimana. Just flowing…
Pembicaraan kami kemudian diperkaya dengan kemunculan seorang ibu sederhana yang muncul dengan pertanyaan sama tentang apakah ada kereta yang lega untuk semua. Tidak berlangsung lama tetapi terasa layak dan santun.
Gue tersadar betapa gue rindu hal-hal seperti ini… manusiawi dan menandakan kebutuhan kontak sosial kita yang perlu dipenuhi. Yang bukan hanya dilakukan melalui gadget.
Akhirnya kami terpencar… Si Ibu Perawat mengajakku menaiki krl yang terlihat cukup lapang. Tetapi gue biarkan beliau naik dan kemudian didesak calon penumpang lain. Gue memilih untuk tetap tinggal dan menunggu kereta berikutnya. “Silakan Bu”, kata gue. “Hati-hati dan sampai jumpa…”
… walaupun entah kapan.